Outside Story BPR
Pada tahun 2004 ketua dan sekretaris pengurus YTLM yakni Welem Nunihitu dan Marthen Mogila'a mengajukan sebuah proposal mendirikan bank perkreditan rakyat kepada Majelis Sinode GMIT. Menurut Marten Mogila'a ini upaya kali keempat. Pengajuan kali pertama di tahun 1984, waktu itu sinode belum memberi respons karena sedang bergelut dengan pendirian Universitas Kristen Arta Wacana. Kembali di tahun 1992 Welem Nunuhitu dan Dominggus Taga Doko mengajukan lagi niat itu. Begitu juga di tahun 2001 niat serupa disampaikan lagi oleh Welem Nunuhitu kepada gereja, GMIT. Barulah di tahun 2004 pada pengajuan niat di kali ke-4 gereja memberikan lampu hijau. Kepada penulis Welem Nunuhitu menerangkan latar belakang pemikiran pembentukan PT BPR. "Uang memang bukan segala-galanya, tetapi uang memungkinkan banyak hal. Untuk menyekolahkan anak-anak, petani dan pedangan kecil-kecilan membutuhkan uang untuk membeli buku dan pensil, pakaian seragam, sepatu dan ongkos transportasi. Bank pemerintah tidak akan begitu saja memberikan uang kepada rakyat walaupun dalam bentuk kredit atau pinjaman berbunga. Bank perlu memastikan apakah si calon penerima kredit memiliki penghasilan tetap, atau setidak-tidaknya si calon kreditor memiliki sesuatu yang bisa dijadikan sebagai jaminan. Dalam situasi demikian gereja tidak boleh berdiam diri.
Gereja perlu mengambil langkah berani, menolong mayoritas warganya yang hidup sebagai petani dan pengusaha mikro dan kecil-kecilan bisa memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tadi. Uang bukan sumber dosa. Sumber dosa, menurut Alkitab adalah cinta akan uang (1 Tim. 6:10). Gereja sebagai lembaga yang memberitakan kepada dunia bahwa cinta kepada Allah dan sesama adalah badan hukum sehingga bisa dan perlu mengambil tindakan-tindakan inovatif, termasuk dalam mengurus uang agar cinta kepada Allah dan sesama terwujud dalam bentuk tiga transformasi: transformasi ekonomi, transformasi sosial dan transformasi spiritual. Inilah alasan pertama pengajuan proposal pendirian.
Alasan kedua, di tahun 2004 mitra YTLM yaitu Opportunity International di Amerika menawarkan modal untuk membuka sebuah bank perkreditan rakyat. Pengurus melihat tawaran ini sebagai kairos dari Tuhan bagi GMIT untuk mentransformasi kehidupan warganya secara lebih konkret. Sayangnya, proposal yang dibawa Majelis Sinode ke dalam persidangan tahunan belum dianggap penting untuk dilayani. Marthen Mogila'a yang waktu itu berperan sebagai sekretaris pengurus mengenang penolakan itu dengan ekspresi sedih. "Tetapi, kami tidak patah semangat. Di tahun 2006 proposal itu kembali kami ajukan kepada Majelis Sinode GMIT. Syukurlah, pimpinan sinode periode baru memberikan restunya. Dibentuklah PT BPR dengan bantuan modal 1,5 miliyar dari Opportunity International di Australia.
PT BPR TLM diresmikan pada tahun 2008 dan mulai beroperasional pada februari 2008. Bertindak sebagai direktur BPR adalah Robert Fanggidae. Saat ini BPR telah memiliki 1 Kantor Cabang di Kabupaten Kupang, yakni di Jalan Timor Raya KM 25 Babau, Kab. Kupang 85362. Selain itu BPR membuka lagi 1 Kantor Kas yang beralamat di Naikoten 1 Kota Kupang, tepatnya Jl. Soeharto No. 58A Kupang - NTT 85118.
Nasabah PT BPR TLM saat ini berjumlah 13.309 (data 31 Oktober 2018). Melalui program pinjaman dan simpanan, BPR melayani di wilayah kota Kupang dan kabupaten Kupang dengan produk pinjaman individu dan tabungan. Tahun 2018 jumlah rekening client aktif adalah 15.838 dengan aset Rp.236 Miliar. Kehadiran BPR diterima baik oleh warga masyarakat yang juga adalah warga gereja, betapa pun masih ada juga yang mengambil sikap skeptik dan ujaran-ujaran negatif menolak kiprah gereja dalam dunia perbankan. Sambutan positif itu nampak pada perkembangan modal, produk-produk layanan yang dijual, bantuan-bantuan berbunga rendah yang diberikan serta pertambahan personil karyawan.
Inside Story BPR
Pada tahun 1980-an ada lima cita-cita yang dicanangkan GMIT untuk diraih, yaitu: Mendirikan universitas kristen, Memiliki Bank, Membentuk wadah pemberdayaan ekonomi warga, Membenahi instititusi pendidikan (Yupenkris), dan Meningkatkan Rumah Sakit Ibu dan Anak Ume Manekan di Soe menjadi rumah sakit umum. Dari kelima cita-cita itu tiga sudah diraih dan berjalan mandiri, yakni adanya Universitas Kristen Artha Wacana pada periode Pdt. Th.A. Messakh sebagai ketua Majelis Sinode, Yayasan Tanaoba Lais Manekat, pada saat Pdt. В. Fobia memimpin GMIT, dan beroperasinya Bank Perkreditan Rakyat TLM di masa Pdt. Ayub Ranoh menahkodai GMIT. Pembenahan Yupenkris baru diadakan di periode 2007-2011, di masa Pdt. Ebenahizer I Nuban Timo menjadi nahkoda GMIT. Pembenaan RS Ibu dan Anak masih terus berproses sampai saat ini.
Mengenai pendirian bank memang tidak mudah. Lanagkah persiapan sudah mulai dilakukan di tahun 1980-an, oleh dua warga GMIT yang sedang menempatiposisi decision maker di Bank NTT, yakni bapak Welem Nunuhitu dan bapak Marten Mogila'a. Upaya itu masih belum membuahkan hasil, karena peserta sidang tahunan Majelis Sinode tahun 1984 belum memberikan persetujuan, padahal Welem Nunuhitu telah membeli sebuah mesin penghitung uang dari bapak David Radja (alm.) sebagai bukti keseriusan mendirikan bank milik GMIT. Di tahun 2004 proposal serupa kembali di bahas dan ada lampu hijau dari pimpinan GMIT. Dua inisiator tadi menjadikan lampu hijau itu sebagai lokomotif pendorong kerja keras, sehingga di tahun 2008 resmilah GMIT memiliki sebuah Bank Perkreditan Rakyat. Proses pendirian bank ini tidak luput dari intervensi ilahi. Atas dasar itu layaklah intervensi itu diketahui warga GMIT supaya mereka bukan hanya menjaga keberadaan bank ini tetapi juga ambil bagian atau berperan serta dalam pengembangannya.
Tahun 2005-2006 menjadi masa di mana persiapan membentuk sebuah bank oleh GMIT mulai menjadi makin intensif. Waktu itu Robert Fanggidae bekerja di Bank Artha Graha sebagai wakil pimpinan cabang (Juni 2004 - April 2006). Salah satu nasabah bank Artha Graha adalah YTLM. Di bulan November 2005 pimpinan YTLM, Rozali Husein bertemu dengan Robert Fanggidae menyampaikan kebutuhan seorang banker yang membantu yayasan untuk mengurus pembentukan sebuah bank mulai dari ijin prinsip, ijin operasional sampai ke pengguntingan pita. Ini hal yang mendesak karena Januari 2006 Rozali Husein akan bertolak ke Australi untuk memastikan dana awal dari O1 Australi untuk bank.
Berketepatan dengan penyampaian maksud itu, demikian kata Robert Fanggidae, dirinya sedang mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari bank Artha Graha. Dirinya juga memang sudah lama memimpikan agar GMIT memiliki bank sehingga percakapan dengan direktur YTLM merupakan semacam desain ilahi. Sampai dengan Januari 2006 baik Rozali Husein maupun Robert Fanggidae belum menemukan seorang bankir yang bersedia mengurus semua perijinan. Tapi karena sudah dijadwalkan maka berangkatlah Rozali Husein ke Australia. Sementara break makan siang, Robert Fanggidae menerima SMS dari Rozali Husein yang sementara ada di Australia. Isi SMS itu berbunyi: "Pak Bobby, O1 Australi minta disebutkan nama bankir yang akan mengurus perijinan itu. Ini perlu sekali untuk pencairan dana dari OI." Karena sampai saat itu belum ditemukan orang yang pas maka siang itu keduanya bersepakat agar nama Robert Fanggidae saja yang disebutkan. Barulah setelah pulang dari Australia diupayakan pencarian bankir. Tindakan emergensi ini dibuat untuk memastikan ketersediaan bantuan dana dari Ol Australia.
Pulang dari Australia bankir yang dicari belum juga ditemukan. Maka direktur YTLM meminta Robert Fanggidae yang mengurus pendirian BPR. Permintaan itu ditandai dengan mengontrak Robert Fanggidae sebagai konsultan pengembangan YTLM. Kontrak ditandatangani 15 Februari 2006. “Karena sudah sejak lama saya mempelajari syaratsyarat pembentukan sebuah bank maka saya mulai bergerak untuk mengurus ijin prinsip dan ijin operasinal bank GMIT, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor No. 20 tahun 2006. Untuk maksud itu terlebih dahulu perlu dilakukan studi kelayakan. Dalam studi itu perlu ditunjukan aspek demografi dan analisa statistik." Bulan April 2006 Robert Fanggidae menggundurkan diri dari Bank Artha Graha sebagai wakil pimpinan cabang untuk berkonsentrasi penuh mempersiapkan pembentukan Bank GMIT. Usai pengunduran diri Robert Fanggidae ke Universitas Kristen Artha Wacana, bertemu Damaris Koli, Stef Adulwance, Hermin. Terbentuklah tim yang dikontrak oleh YTLM untuk melakukan studi kelayakan. Pada 10 Mei 2006 tim ini memaparkan hasil studi kelayakan kepada pengurus yayasan.
Robert Fanggidae yang mengaku bahwa awalnya tidak banyak yang menduga bahwa pemaparan hasil itu bisa dia lakukan, karena meragukan kapasitasnya dalam mengelola sebuah bank berhubungan minim pengalaman. Nyatanya pengurus menerima hasil studi itu. Tanggal 14 Agustus 2006 hasil studi kelayakan itu dibawa oleh Welem Nunuhitu ke Jakarta untuk mengurus ijin prinsip. Sambil menunggu terbitnya ijin prinsip perlu dipersiapkan perangkat personil direksi dan komisaris, yakni urusan sertifikasi direksi. Robert Fanggidae bertemu dengan bapak Samuel Djoh yang adalah Deputy Pengawasan BI di Bank Indonesia Kupang bulan Februari 2007. Samuel Djo menunjukkan bahwa syarat mendapatkan sertifikasi sebagai dirut adalah haruslah mantan direksi atau komisaris dan berpengalaman sebagai pejabat bank minimal 2 tahun. "Yang diincar waktu itu untuk menjadi komisaris bank GMIT adalah bapak Nikodemus Adoe, sementara direksinya adalah Robert Fanggidae. "Informasi tadi seperti halilintar bagi saya, karena pengalaman saya sebagai pejabat bank baru 1 tahun 10 bulan. Belum sampai dua tahun. Saya benar-benar terpukul."
Bersamaan dengan informasi lisan tadi Samuel Djo juga membuat surat yang menerangkan bahwa dokumen-dokumen pengusulan Robert Fanggidae sebagai dirut bank GMIT ditolak karena yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan. Surat itu tertanggal 7 Februari 2007."Saya benar-benar stress setelah menerima surat itu. Tapi karena dikontrak oleh YTLM maka saya membawa surat itu ke direktur, bapak Rozali. Lalu berserah pasrah, tidak berdaya. Mimpi lama saya menggembangkan bank milik GMIT benar-benar berantakan." Dalam keadaan stress Robert Fanggidaе bertemu pendoa. Itu terjadi dua hari setelah mendapatkan surat penolakan.
Di poin ini intonasi suara Robert Fanggidae menguat. Dia mengisahkan bagian ini sebanyak tiga kali. "Usai doa, bapak Petrus Mella katakan kepada saya untuk hari Senin kembali ke bapak Samuel Djo. Saya mengikuti saja perintah pak Mella. Hari Senin berikutnya saya bertamu ke ruang kerja Semuel Djo, walaupun dengan penuh keraguan karena baru minggu lalu beliau menulis surat penolakan. Tapi pak pendeta tahu... Hari Senin itu waktu saya menghadap... pak Sem seperti kena hipnotis. Saya masuk ke ruangannya sambil berucap selamat pagi. Lalu dia berkata: Ama, karmana? Ada perlu apa yang bisa beta bantu?
Saya langsung saja katakan: "Beta minta rekomendasi untuk mengikuti sertifikasi sebagai dirut bank ke Jakarta untuk pendirian bank GMIT." Saya katakan begitu walau tahu bahwa minggu lalu permintaan yang sama sudah ditolak dengan sebuah surat resmi. Pak Sem seperti kena hipnotis. Begitu saya selesai bicara, beliau balik badan ke komputernya, mengetik surat rekomendasi lalu membawa surat itu ke bapak Putra Nusantara, kepala Bank Indonesia cabang Kupang, tanda tangan, masukan dalam amplop, dan serahkan ke saya surat itu sambil ngomong, belajar baik-baik." Waktu surat itu dibawa ke direktur, Rozali Hussein heran. Hari Jumat minggu lalu dari orang yang sama dikeluarkan surat penolakan, tetapi hari Senin berikutnya orang yang sama pula membuat surat rekomendasi untuk mengikuti sertifikasi ke Jakarta.
Melihat kembali proses itu, Robert Fanggidae katakan bahwa ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki GMIT memiliki sebuah bank. Tuhan juga mau memakai dirinya untuk mengembangkan bank milik GMIT. Itu sebabnya pintu sudah ditutup kembali dibuka oleh Tuhan. "Secara formal memang saya tidak layak mengurus bank baru karena kurang pengalaman 2 bulan sebagai direksi. Syarat untuk menjadi direksi bank adalah pengalaman minimal 2 tahun. Pengalaman saya hanya 22 bulan." Segera setelah rekomendasi tadi diterima, Ibu Dede dan pak Yeri ditugaskan ikut pelatihan di Jakarta untuk sertifikasi supaya pada saat ijin prinsip dikeluarkan Bank Indonesia keduanya menjalankan peran sebagai direksi bank bersama dengan Robert Fanggidae sebagai dirut.
Masalah lama teratasi, muncul masalah baru. Dua calon direksi ini (Dede dan Yeri) harus juga memiliki pengalaman bank, padahal keduanya tidak punya pengalaman bank. Robert Fanggidae lalu mengontak rekannya di Bank MBM Bali (Nyoman Sunarta). Terjadi kesepakatan untuk menitipkan kedua calon mengikuti magang selama satu bulan (bulan Februari), tetapi dalam surat surat keterangan dicantumkan lamanya magang adalah 3 bulan (dari November, Desember dan Januari). Surat keterangan dibutuhkan untuk ujian sertifikasi. Tuhan ikut bekerja mempermudah proses itu.
Di usia BPR TLM ke-11, Robert Fanggidae dalam refleksinya menganalogikan ujian-ujian itu dengan pengalamana Yusuf anak Yakub. Yusuf berhadapan dengan ujian berat. Dia dijual sebagai budak ke Mesir. Di sana ada lagi ujian sehingga dijebloskan ke dalam penjara. Sukses yang Yusuf raih sebagai mangkubumi Mesir, diperoleh melalui sebuah proses yang berat. Ujian tahap pertama proses pembentukan berhasil dilalui. Tapi segera menyusul ujian tahap kedua, yang tak kalah hebat dan dahsyat.
Seperti disebutkan di atas pada tanggal 14 Agustus 2006 bapak Welem Nunuhitu ke Jakarta untuk mengurus ijin prinsip bank milik GMIT. "Sampai April 2007 ijin tak kunjung keluar." Demikian kata Robert Fanggidae dalam wawancara. "Karena tidak ada titik terang, di bulan April Juni 2007 pimpian yayasan bermaksud mengakhiri masa kontrak pada 15 Mei 2007." Sambil menunggu berakhirnya masa kontrak Robert Fanggidae menginvestigasi letak permasalahannya. Ternyata kendalanya berhubungan dengan salib. Molornya penerbitan ijin karena lembaga pengusul pendirian bank itu adalah gereja. "Bapak ABK yang mengepalai bidang perijinan menunda-nunda penerbitan ijin prinsip karena bank baru yang akan dibentuk itu adalah milik gereja. Wah... apa jadinya kalau di NTT ada bank milik gereja?" Informasi ini disampaikan dengan bahasa isyarat oleh Samuel Djoh di BI Kupang.
Robert Fanggidae kembali bertindak melalui doa. "Tanggal 21 April 2007 saya pergi ke pak Petrus Mella, seorang pendoa untuk menggumuli masalah ini," kata Robert Fanggidae melanjutkan tuturannya. "Usai berdoa, Petrus Mella mengatakan kepada saya bahwa Tuhan akan memakai orang Jakarta untuk memproses keluarnya ijin prinsip." Robert pulang ke rumah sambil bertanya dalam hati siapa orang Jakarta itu karena pak Petrus Mella juga tidak tahu siapa orang yang akan Tuhan pakai itu. Tidak juga disebut mengenai identitas orang itu, seperti laki-laki atau perempuan, apa pekerjaannya, di mana alamatnya. "Pak Petrus Mella hanya berkata bahwa bisikan yang dia dengan dari Tuhan dalam doa adalah bahwa persoalan ini akan diselesaikan orang Jakarta."
Kebingungan membuat Robert Fanggidae masuk kamar, berdoa dan tidur. Bangun tidur, hal pertama yang dia lakukan adalah menonton berita nasional di TV. Itu berlangsung 21 April 2007. TV memberitakan proses fit and proper test terhadap Siti Fadjriah sebagai gubernur Bank Indonesia. Saat menyaksikan tayangan itu, memori masa mahasiswa dulu kembali ke benak Robert Fanggidae, yakni ungkapan Soeharto takut mahasiswa, mahasiswa takut dosen, dosen takut Soeharto." Fit and proper test itu dilakukan oleh DPR RI. Robert Fanggidae mengaku bahwa apa yang dia lihat di TV itu adalah jawaban atas doanya: "Persoalan ini akan diselesaikan orang Jakarta."
Pikiran di kepala saya begini: "Gubernur Bank Indonesia ditest oleh DPR artinya gubernur takut pada DPR. Kalau begitu orang Jakarta yang dimaksud ditunjukkan Tuhan adalah anggota DPR RI. Saya langsung ingat teman saya, anggota DPR RI asal NTT, Nina Kedang. Ini dia orang Jakarta yang akan Tuhan pakai untuk menyelesaikan kerumitan perijinan bank GMIT. Saya tidak tunda lagi. Saya langsung menelpon Nina Kedang, anggota DPR RI yang sekaligus teman saya. Luar biasa karena dia sedang ada di Kupang, menjadi juru kampanye calon walikota Kupang atas nama Al Funay dan Andreas Agas. Saat ditelpon, dia sedang siap-siap naik panggung untuk kampanye."
Sejak jam 8 malam Robert Fanggidae sudah bertamu ke rumah Nina Kedang di Kupang. Para pembantu di rumah menginformasikan bahwa biasanya si ibu pulang jam 12 atau jam 01.00 dini hari. "Karena saya sudah yakin bahwa Nina Kedang adalah orang Jakarta yang Tuhan akan pakai untuk menerbitkan ijin, saya tetap menunggu di serambi rumah, betapa pun jam 11 malam para penghuni rumah sudah pamit untuk istrahat."
Yang ditunggu datang jam 01.00 dini hari. Setelah mendengar pemaparan dari Robert Fanggidae Nina Kedang meminta dibuatkan seluruh kronologi perijinan dari bulan Agustus 2006 untuk dia jadikan pegangan. Ibu Nina Kedang juga memberikan saya nomor telepon Ibu Siti Fadjriah dan meminta agar Robert Fanggidae mengkontak via telepon, dua atau tiga hari lagi supayá Nina Kedang sudah di Jakarta dan bertemu dengan Ibu Siti Fadjriah. Robert Fanggidae lakukan seperti yang diminta Ibu Nina. Waktu percakapan telepon dengan Ibu Siti, Robert Fanggidae diminta untuk urusan selanjutnya bisa langsung menghubungi bapak Abubakar, pejabat Bank Indonesia yang membidangi perijinan pendirian bank. Ibu Siti juga mengatakan kepada Robert Fanggidae bahwa dia telah dikontak oleh anggota DPR RI asal NTT atas nama Nina Kedang untuk membantu penerbitan proses perijinan itu, dan karena itu dia telah meminta bapak Abubakar untuk menyelesaikan urusan tadi.
Tanggal 13 Juni 2007, waktu itu Nina Kedang sedang di Jerman mengikuti pelantikan Kanselir Jerman. Kira-kira pukul 14.00 Nina Kedang dari Jerman mengontak Robert Fanggidae di Kupang memberi informasi bahwa Ibu Siti Fadjiriah baru saja menanda-tangani ijin prinsip pendirian bank GMIT. Dua hari lagi surat itu sudah bisa diambil di kantor Bank Indonesia cabang Kupang. "Saya diliputi sukacita sorgawi saat mendengar berita itu." Begitu kata Robert Fanggidae. "Tuhan memakai orang Jakarta untuk menyelesaikan urusan perijinan yang dibuat rumit. Karena itu saya langsung menelpon pak Samuel Djo, minta bertemu besok."
Di ruang kerja pak Djo, begitu cerita Robert Fanggidae, dia mendengar curhat kekecewaan dari pak Djo. "Kalian itu jangan begitu, pakai menekan pak Abubakar melalui jalur politik. Kalau menunggu dengan sabar apa sih salahnya? Masa, tiap dua hari, pak Abubakar menerima telpon dari Ibu Siti menanyakan seberapa jauh urusan ijin itu. Ini khan tidak elok." Curhatnya pak Djo hanya ditanggapi dengan ungkapan terima kasih karena kerja samanya memproses perijinan itu. Kepada saya Robert Fanggidae juga menceritakan keheranannya. Menurut yang dia dengar dari Nina Kedang, hanya satu kali saja dia menghubungi ibu Siti untuk memproses ijin itu tidak dengan maksud mendesak dan menekan.
Singkat cerita, ujian internal babak kedua, dalam urusan perolehan ijin prinsip dari Bank Indonesia untuk pendirian bank GMIT tuntas tanggal 13 Juni 2007, melalui pertolongan orang Jakarta seperti yang disebutkan Petrus Mella usai menggumuli masalah ini di dalam doa. Tak ada salahnya kalau kita mengambil kesimpulan bahwa Tuhan berkehendak BPR TLM hadir di NTT sebagai perpanjangan tangan GMIT untuk memberdayaan kehidupan ekonomi warga masyarakat NTT. Keadaan Terkini PT BPR TLM
Sampai saat buku ini ditulis, pelayanan BPR TLM kepada masyarakat berjalan normal. Besarnya modal yang dimiliki adalah 236 Miliar dengan Nasabah yang dilayani sebanyak 13.309 orag. Jumlah karyawan BRP TLM per 2019 adalah 93 orang, terdiri atas 59 laki-laki dan 34 perempuan sejumlah. Komposisi pimpinan BPR adalah sebagai berikut: Direktur Utama : Robert P. Fanggidae Direktur Kredit : Yeremia M. Nappoе Direktur Kepatuhan: Erni E. Muskananfola
Sejarah
Outside Story BPR
Pada tahun 2004 ketua dan sekretaris pengurus YTLM yakni Welem Nunihitu dan Marthen Mogila'a mengajukan sebuah proposal mendirikan bank perkreditan rakyat kepada Majelis Sinode GMIT. Menurut Marten Mogila'a ini upaya kali keempat. Pengajuan kali pertama di tahun 1984, waktu itu sinode belum memberi respons karena sedang bergelut dengan pendirian Universitas Kristen Arta Wacana. Kembali di tahun 1992 Welem Nunuhitu dan Dominggus Taga Doko mengajukan lagi niat itu. Begitu juga di tahun 2001 niat serupa disampaikan lagi oleh Welem Nunuhitu kepada gereja, GMIT. Barulah di tahun 2004 pada pengajuan niat di kali ke-4 gereja memberikan lampu hijau. Kepada penulis Welem Nunuhitu menerangkan latar belakang pemikiran pembentukan PT BPR. "Uang memang bukan segala-galanya, tetapi uang memungkinkan banyak hal. Untuk menyekolahkan anak-anak, petani dan pedangan kecil-kecilan membutuhkan uang untuk membeli buku dan pensil, pakaian seragam, sepatu dan ongkos transportasi. Bank pemerintah tidak akan begitu saja memberikan uang kepada rakyat walaupun dalam bentuk kredit atau pinjaman berbunga. Bank perlu memastikan apakah si calon penerima kredit memiliki penghasilan tetap, atau setidak-tidaknya si calon kreditor memiliki sesuatu yang bisa dijadikan sebagai jaminan. Dalam situasi demikian gereja tidak boleh berdiam diri.
Gereja perlu mengambil langkah berani, menolong mayoritas warganya yang hidup sebagai petani dan pengusaha mikro dan kecil-kecilan bisa memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tadi. Uang bukan sumber dosa. Sumber dosa, menurut Alkitab adalah cinta akan uang (1 Tim. 6:10). Gereja sebagai lembaga yang memberitakan kepada dunia bahwa cinta kepada Allah dan sesama adalah badan hukum sehingga bisa dan perlu mengambil tindakan-tindakan inovatif, termasuk dalam mengurus uang agar cinta kepada Allah dan sesama terwujud dalam bentuk tiga transformasi: transformasi ekonomi, transformasi sosial dan transformasi spiritual. Inilah alasan pertama pengajuan proposal pendirian.
Alasan kedua, di tahun 2004 mitra YTLM yaitu Opportunity International di Amerika menawarkan modal untuk membuka sebuah bank perkreditan rakyat. Pengurus melihat tawaran ini sebagai kairos dari Tuhan bagi GMIT untuk mentransformasi kehidupan warganya secara lebih konkret. Sayangnya, proposal yang dibawa Majelis Sinode ke dalam persidangan tahunan belum dianggap penting untuk dilayani. Marthen Mogila'a yang waktu itu berperan sebagai sekretaris pengurus mengenang penolakan itu dengan ekspresi sedih. "Tetapi, kami tidak patah semangat. Di tahun 2006 proposal itu kembali kami ajukan kepada Majelis Sinode GMIT. Syukurlah, pimpinan sinode periode baru memberikan restunya. Dibentuklah PT BPR dengan bantuan modal 1,5 miliyar dari Opportunity International di Australia.
PT BPR TLM diresmikan pada tahun 2008 dan mulai beroperasional pada februari 2008. Bertindak sebagai direktur BPR adalah Robert Fanggidae. Saat ini BPR telah memiliki 1 Kantor Cabang di Kabupaten Kupang, yakni di Jalan Timor Raya KM 25 Babau, Kab. Kupang 85362. Selain itu BPR membuka lagi 1 Kantor Kas yang beralamat di Naikoten 1 Kota Kupang, tepatnya Jl. Soeharto No. 58A Kupang - NTT 85118.
Nasabah PT BPR TLM saat ini berjumlah 13.309 (data 31 Oktober 2018). Melalui program pinjaman dan simpanan, BPR melayani di wilayah kota Kupang dan kabupaten Kupang dengan produk pinjaman individu dan tabungan. Tahun 2018 jumlah rekening client aktif adalah 15.838 dengan aset Rp.236 Miliar. Kehadiran BPR diterima baik oleh warga masyarakat yang juga adalah warga gereja, betapa pun masih ada juga yang mengambil sikap skeptik dan ujaran-ujaran negatif menolak kiprah gereja dalam dunia perbankan. Sambutan positif itu nampak pada perkembangan modal, produk-produk layanan yang dijual, bantuan-bantuan berbunga rendah yang diberikan serta pertambahan personil karyawan.
Inside Story BPR
Pada tahun 1980-an ada lima cita-cita yang dicanangkan GMIT untuk diraih, yaitu: Mendirikan universitas kristen, Memiliki Bank, Membentuk wadah pemberdayaan ekonomi warga, Membenahi instititusi pendidikan (Yupenkris), dan Meningkatkan Rumah Sakit Ibu dan Anak Ume Manekan di Soe menjadi rumah sakit umum. Dari kelima cita-cita itu tiga sudah diraih dan berjalan mandiri, yakni adanya Universitas Kristen Artha Wacana pada periode Pdt. Th.A. Messakh sebagai ketua Majelis Sinode, Yayasan Tanaoba Lais Manekat, pada saat Pdt. В. Fobia memimpin GMIT, dan beroperasinya Bank Perkreditan Rakyat TLM di masa Pdt. Ayub Ranoh menahkodai GMIT. Pembenahan Yupenkris baru diadakan di periode 2007-2011, di masa Pdt. Ebenahizer I Nuban Timo menjadi nahkoda GMIT. Pembenaan RS Ibu dan Anak masih terus berproses sampai saat ini.
Mengenai pendirian bank memang tidak mudah. Lanagkah persiapan sudah mulai dilakukan di tahun 1980-an, oleh dua warga GMIT yang sedang menempatiposisi decision maker di Bank NTT, yakni bapak Welem Nunuhitu dan bapak Marten Mogila'a. Upaya itu masih belum membuahkan hasil, karena peserta sidang tahunan Majelis Sinode tahun 1984 belum memberikan persetujuan, padahal Welem Nunuhitu telah membeli sebuah mesin penghitung uang dari bapak David Radja (alm.) sebagai bukti keseriusan mendirikan bank milik GMIT. Di tahun 2004 proposal serupa kembali di bahas dan ada lampu hijau dari pimpinan GMIT. Dua inisiator tadi menjadikan lampu hijau itu sebagai lokomotif pendorong kerja keras, sehingga di tahun 2008 resmilah GMIT memiliki sebuah Bank Perkreditan Rakyat. Proses pendirian bank ini tidak luput dari intervensi ilahi. Atas dasar itu layaklah intervensi itu diketahui warga GMIT supaya mereka bukan hanya menjaga keberadaan bank ini tetapi juga ambil bagian atau berperan serta dalam pengembangannya.
Tahun 2005-2006 menjadi masa di mana persiapan membentuk sebuah bank oleh GMIT mulai menjadi makin intensif. Waktu itu Robert Fanggidae bekerja di Bank Artha Graha sebagai wakil pimpinan cabang (Juni 2004 - April 2006). Salah satu nasabah bank Artha Graha adalah YTLM. Di bulan November 2005 pimpinan YTLM, Rozali Husein bertemu dengan Robert Fanggidae menyampaikan kebutuhan seorang banker yang membantu yayasan untuk mengurus pembentukan sebuah bank mulai dari ijin prinsip, ijin operasional sampai ke pengguntingan pita. Ini hal yang mendesak karena Januari 2006 Rozali Husein akan bertolak ke Australi untuk memastikan dana awal dari O1 Australi untuk bank.
Berketepatan dengan penyampaian maksud itu, demikian kata Robert Fanggidae, dirinya sedang mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari bank Artha Graha. Dirinya juga memang sudah lama memimpikan agar GMIT memiliki bank sehingga percakapan dengan direktur YTLM merupakan semacam desain ilahi. Sampai dengan Januari 2006 baik Rozali Husein maupun Robert Fanggidae belum menemukan seorang bankir yang bersedia mengurus semua perijinan. Tapi karena sudah dijadwalkan maka berangkatlah Rozali Husein ke Australia. Sementara break makan siang, Robert Fanggidae menerima SMS dari Rozali Husein yang sementara ada di Australia. Isi SMS itu berbunyi: "Pak Bobby, O1 Australi minta disebutkan nama bankir yang akan mengurus perijinan itu. Ini perlu sekali untuk pencairan dana dari OI." Karena sampai saat itu belum ditemukan orang yang pas maka siang itu keduanya bersepakat agar nama Robert Fanggidae saja yang disebutkan. Barulah setelah pulang dari Australia diupayakan pencarian bankir. Tindakan emergensi ini dibuat untuk memastikan ketersediaan bantuan dana dari Ol Australia.
Pulang dari Australia bankir yang dicari belum juga ditemukan. Maka direktur YTLM meminta Robert Fanggidae yang mengurus pendirian BPR. Permintaan itu ditandai dengan mengontrak Robert Fanggidae sebagai konsultan pengembangan YTLM. Kontrak ditandatangani 15 Februari 2006. “Karena sudah sejak lama saya mempelajari syaratsyarat pembentukan sebuah bank maka saya mulai bergerak untuk mengurus ijin prinsip dan ijin operasinal bank GMIT, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor No. 20 tahun 2006. Untuk maksud itu terlebih dahulu perlu dilakukan studi kelayakan. Dalam studi itu perlu ditunjukan aspek demografi dan analisa statistik." Bulan April 2006 Robert Fanggidae menggundurkan diri dari Bank Artha Graha sebagai wakil pimpinan cabang untuk berkonsentrasi penuh mempersiapkan pembentukan Bank GMIT. Usai pengunduran diri Robert Fanggidae ke Universitas Kristen Artha Wacana, bertemu Damaris Koli, Stef Adulwance, Hermin. Terbentuklah tim yang dikontrak oleh YTLM untuk melakukan studi kelayakan. Pada 10 Mei 2006 tim ini memaparkan hasil studi kelayakan kepada pengurus yayasan.
Robert Fanggidae yang mengaku bahwa awalnya tidak banyak yang menduga bahwa pemaparan hasil itu bisa dia lakukan, karena meragukan kapasitasnya dalam mengelola sebuah bank berhubungan minim pengalaman. Nyatanya pengurus menerima hasil studi itu. Tanggal 14 Agustus 2006 hasil studi kelayakan itu dibawa oleh Welem Nunuhitu ke Jakarta untuk mengurus ijin prinsip. Sambil menunggu terbitnya ijin prinsip perlu dipersiapkan perangkat personil direksi dan komisaris, yakni urusan sertifikasi direksi. Robert Fanggidae bertemu dengan bapak Samuel Djoh yang adalah Deputy Pengawasan BI di Bank Indonesia Kupang bulan Februari 2007. Samuel Djo menunjukkan bahwa syarat mendapatkan sertifikasi sebagai dirut adalah haruslah mantan direksi atau komisaris dan berpengalaman sebagai pejabat bank minimal 2 tahun. "Yang diincar waktu itu untuk menjadi komisaris bank GMIT adalah bapak Nikodemus Adoe, sementara direksinya adalah Robert Fanggidae. "Informasi tadi seperti halilintar bagi saya, karena pengalaman saya sebagai pejabat bank baru 1 tahun 10 bulan. Belum sampai dua tahun. Saya benar-benar terpukul."
Bersamaan dengan informasi lisan tadi Samuel Djo juga membuat surat yang menerangkan bahwa dokumen-dokumen pengusulan Robert Fanggidae sebagai dirut bank GMIT ditolak karena yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan. Surat itu tertanggal 7 Februari 2007."Saya benar-benar stress setelah menerima surat itu. Tapi karena dikontrak oleh YTLM maka saya membawa surat itu ke direktur, bapak Rozali. Lalu berserah pasrah, tidak berdaya. Mimpi lama saya menggembangkan bank milik GMIT benar-benar berantakan." Dalam keadaan stress Robert Fanggidaе bertemu pendoa. Itu terjadi dua hari setelah mendapatkan surat penolakan.
Di poin ini intonasi suara Robert Fanggidae menguat. Dia mengisahkan bagian ini sebanyak tiga kali. "Usai doa, bapak Petrus Mella katakan kepada saya untuk hari Senin kembali ke bapak Samuel Djo. Saya mengikuti saja perintah pak Mella. Hari Senin berikutnya saya bertamu ke ruang kerja Semuel Djo, walaupun dengan penuh keraguan karena baru minggu lalu beliau menulis surat penolakan. Tapi pak pendeta tahu... Hari Senin itu waktu saya menghadap... pak Sem seperti kena hipnotis. Saya masuk ke ruangannya sambil berucap selamat pagi. Lalu dia berkata: Ama, karmana? Ada perlu apa yang bisa beta bantu?
Saya langsung saja katakan: "Beta minta rekomendasi untuk mengikuti sertifikasi sebagai dirut bank ke Jakarta untuk pendirian bank GMIT." Saya katakan begitu walau tahu bahwa minggu lalu permintaan yang sama sudah ditolak dengan sebuah surat resmi. Pak Sem seperti kena hipnotis. Begitu saya selesai bicara, beliau balik badan ke komputernya, mengetik surat rekomendasi lalu membawa surat itu ke bapak Putra Nusantara, kepala Bank Indonesia cabang Kupang, tanda tangan, masukan dalam amplop, dan serahkan ke saya surat itu sambil ngomong, belajar baik-baik." Waktu surat itu dibawa ke direktur, Rozali Hussein heran. Hari Jumat minggu lalu dari orang yang sama dikeluarkan surat penolakan, tetapi hari Senin berikutnya orang yang sama pula membuat surat rekomendasi untuk mengikuti sertifikasi ke Jakarta.
Melihat kembali proses itu, Robert Fanggidae katakan bahwa ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki GMIT memiliki sebuah bank. Tuhan juga mau memakai dirinya untuk mengembangkan bank milik GMIT. Itu sebabnya pintu sudah ditutup kembali dibuka oleh Tuhan. "Secara formal memang saya tidak layak mengurus bank baru karena kurang pengalaman 2 bulan sebagai direksi. Syarat untuk menjadi direksi bank adalah pengalaman minimal 2 tahun. Pengalaman saya hanya 22 bulan." Segera setelah rekomendasi tadi diterima, Ibu Dede dan pak Yeri ditugaskan ikut pelatihan di Jakarta untuk sertifikasi supaya pada saat ijin prinsip dikeluarkan Bank Indonesia keduanya menjalankan peran sebagai direksi bank bersama dengan Robert Fanggidae sebagai dirut.
Masalah lama teratasi, muncul masalah baru. Dua calon direksi ini (Dede dan Yeri) harus juga memiliki pengalaman bank, padahal keduanya tidak punya pengalaman bank. Robert Fanggidae lalu mengontak rekannya di Bank MBM Bali (Nyoman Sunarta). Terjadi kesepakatan untuk menitipkan kedua calon mengikuti magang selama satu bulan (bulan Februari), tetapi dalam surat surat keterangan dicantumkan lamanya magang adalah 3 bulan (dari November, Desember dan Januari). Surat keterangan dibutuhkan untuk ujian sertifikasi. Tuhan ikut bekerja mempermudah proses itu.
Di usia BPR TLM ke-11, Robert Fanggidae dalam refleksinya menganalogikan ujian-ujian itu dengan pengalamana Yusuf anak Yakub. Yusuf berhadapan dengan ujian berat. Dia dijual sebagai budak ke Mesir. Di sana ada lagi ujian sehingga dijebloskan ke dalam penjara. Sukses yang Yusuf raih sebagai mangkubumi Mesir, diperoleh melalui sebuah proses yang berat. Ujian tahap pertama proses pembentukan berhasil dilalui. Tapi segera menyusul ujian tahap kedua, yang tak kalah hebat dan dahsyat.
Seperti disebutkan di atas pada tanggal 14 Agustus 2006 bapak Welem Nunuhitu ke Jakarta untuk mengurus ijin prinsip bank milik GMIT. "Sampai April 2007 ijin tak kunjung keluar." Demikian kata Robert Fanggidae dalam wawancara. "Karena tidak ada titik terang, di bulan April Juni 2007 pimpian yayasan bermaksud mengakhiri masa kontrak pada 15 Mei 2007." Sambil menunggu berakhirnya masa kontrak Robert Fanggidae menginvestigasi letak permasalahannya. Ternyata kendalanya berhubungan dengan salib. Molornya penerbitan ijin karena lembaga pengusul pendirian bank itu adalah gereja. "Bapak ABK yang mengepalai bidang perijinan menunda-nunda penerbitan ijin prinsip karena bank baru yang akan dibentuk itu adalah milik gereja. Wah... apa jadinya kalau di NTT ada bank milik gereja?" Informasi ini disampaikan dengan bahasa isyarat oleh Samuel Djoh di BI Kupang.
Robert Fanggidae kembali bertindak melalui doa. "Tanggal 21 April 2007 saya pergi ke pak Petrus Mella, seorang pendoa untuk menggumuli masalah ini," kata Robert Fanggidae melanjutkan tuturannya. "Usai berdoa, Petrus Mella mengatakan kepada saya bahwa Tuhan akan memakai orang Jakarta untuk memproses keluarnya ijin prinsip." Robert pulang ke rumah sambil bertanya dalam hati siapa orang Jakarta itu karena pak Petrus Mella juga tidak tahu siapa orang yang akan Tuhan pakai itu. Tidak juga disebut mengenai identitas orang itu, seperti laki-laki atau perempuan, apa pekerjaannya, di mana alamatnya. "Pak Petrus Mella hanya berkata bahwa bisikan yang dia dengan dari Tuhan dalam doa adalah bahwa persoalan ini akan diselesaikan orang Jakarta."
Kebingungan membuat Robert Fanggidae masuk kamar, berdoa dan tidur. Bangun tidur, hal pertama yang dia lakukan adalah menonton berita nasional di TV. Itu berlangsung 21 April 2007. TV memberitakan proses fit and proper test terhadap Siti Fadjriah sebagai gubernur Bank Indonesia. Saat menyaksikan tayangan itu, memori masa mahasiswa dulu kembali ke benak Robert Fanggidae, yakni ungkapan Soeharto takut mahasiswa, mahasiswa takut dosen, dosen takut Soeharto." Fit and proper test itu dilakukan oleh DPR RI. Robert Fanggidae mengaku bahwa apa yang dia lihat di TV itu adalah jawaban atas doanya: "Persoalan ini akan diselesaikan orang Jakarta."
Pikiran di kepala saya begini: "Gubernur Bank Indonesia ditest oleh DPR artinya gubernur takut pada DPR. Kalau begitu orang Jakarta yang dimaksud ditunjukkan Tuhan adalah anggota DPR RI. Saya langsung ingat teman saya, anggota DPR RI asal NTT, Nina Kedang. Ini dia orang Jakarta yang akan Tuhan pakai untuk menyelesaikan kerumitan perijinan bank GMIT. Saya tidak tunda lagi. Saya langsung menelpon Nina Kedang, anggota DPR RI yang sekaligus teman saya. Luar biasa karena dia sedang ada di Kupang, menjadi juru kampanye calon walikota Kupang atas nama Al Funay dan Andreas Agas. Saat ditelpon, dia sedang siap-siap naik panggung untuk kampanye."
Sejak jam 8 malam Robert Fanggidae sudah bertamu ke rumah Nina Kedang di Kupang. Para pembantu di rumah menginformasikan bahwa biasanya si ibu pulang jam 12 atau jam 01.00 dini hari. "Karena saya sudah yakin bahwa Nina Kedang adalah orang Jakarta yang Tuhan akan pakai untuk menerbitkan ijin, saya tetap menunggu di serambi rumah, betapa pun jam 11 malam para penghuni rumah sudah pamit untuk istrahat."
Yang ditunggu datang jam 01.00 dini hari. Setelah mendengar pemaparan dari Robert Fanggidae Nina Kedang meminta dibuatkan seluruh kronologi perijinan dari bulan Agustus 2006 untuk dia jadikan pegangan. Ibu Nina Kedang juga memberikan saya nomor telepon Ibu Siti Fadjriah dan meminta agar Robert Fanggidae mengkontak via telepon, dua atau tiga hari lagi supayá Nina Kedang sudah di Jakarta dan bertemu dengan Ibu Siti Fadjriah. Robert Fanggidae lakukan seperti yang diminta Ibu Nina. Waktu percakapan telepon dengan Ibu Siti, Robert Fanggidae diminta untuk urusan selanjutnya bisa langsung menghubungi bapak Abubakar, pejabat Bank Indonesia yang membidangi perijinan pendirian bank. Ibu Siti juga mengatakan kepada Robert Fanggidae bahwa dia telah dikontak oleh anggota DPR RI asal NTT atas nama Nina Kedang untuk membantu penerbitan proses perijinan itu, dan karena itu dia telah meminta bapak Abubakar untuk menyelesaikan urusan tadi.
Tanggal 13 Juni 2007, waktu itu Nina Kedang sedang di Jerman mengikuti pelantikan Kanselir Jerman. Kira-kira pukul 14.00 Nina Kedang dari Jerman mengontak Robert Fanggidae di Kupang memberi informasi bahwa Ibu Siti Fadjiriah baru saja menanda-tangani ijin prinsip pendirian bank GMIT. Dua hari lagi surat itu sudah bisa diambil di kantor Bank Indonesia cabang Kupang. "Saya diliputi sukacita sorgawi saat mendengar berita itu." Begitu kata Robert Fanggidae. "Tuhan memakai orang Jakarta untuk menyelesaikan urusan perijinan yang dibuat rumit. Karena itu saya langsung menelpon pak Samuel Djo, minta bertemu besok."
Di ruang kerja pak Djo, begitu cerita Robert Fanggidae, dia mendengar curhat kekecewaan dari pak Djo. "Kalian itu jangan begitu, pakai menekan pak Abubakar melalui jalur politik. Kalau menunggu dengan sabar apa sih salahnya? Masa, tiap dua hari, pak Abubakar menerima telpon dari Ibu Siti menanyakan seberapa jauh urusan ijin itu. Ini khan tidak elok." Curhatnya pak Djo hanya ditanggapi dengan ungkapan terima kasih karena kerja samanya memproses perijinan itu. Kepada saya Robert Fanggidae juga menceritakan keheranannya. Menurut yang dia dengar dari Nina Kedang, hanya satu kali saja dia menghubungi ibu Siti untuk memproses ijin itu tidak dengan maksud mendesak dan menekan.
Singkat cerita, ujian internal babak kedua, dalam urusan perolehan ijin prinsip dari Bank Indonesia untuk pendirian bank GMIT tuntas tanggal 13 Juni 2007, melalui pertolongan orang Jakarta seperti yang disebutkan Petrus Mella usai menggumuli masalah ini di dalam doa. Tak ada salahnya kalau kita mengambil kesimpulan bahwa Tuhan berkehendak BPR TLM hadir di NTT sebagai perpanjangan tangan GMIT untuk memberdayaan kehidupan ekonomi warga masyarakat NTT.
Keadaan Terkini PT BPR TLM
Sampai saat buku ini ditulis, pelayanan BPR TLM kepada masyarakat berjalan normal. Besarnya modal yang dimiliki adalah 236 Miliar dengan Nasabah yang dilayani sebanyak 13.309 orag. Jumlah karyawan BRP TLM per 2019 adalah 93 orang, terdiri atas 59 laki-laki dan 34 perempuan sejumlah. Komposisi pimpinan BPR adalah sebagai berikut:
Direktur Utama : Robert P. Fanggidae
Direktur Kredit : Yeremia M. Nappoе
Direktur Kepatuhan: Erni E. Muskananfola